Selasa, 09 November 2010

untuk apa...?

apa yang terjadi...

rekayasa dialektika dihujani warna suara
Tanpa penguatan, warna itu sekejap kan pudar
Sepintas dari ingatan, terbuang ke dunia luar

Maaf, pijakanmu hancur sebelum kau pijak
Seolah karena alam, padahal kau sendri yang merusak
Selesai, terucap salam
Menyeruak, lontaran pikiran subjektifitasmu tanpa alas
tertawa puas kau di atas
namun, tanpa kau sadari telah kau lepas
ya, melepas ikatan makna
kini suaramu tak bernyawa

bagaimana kau dengar kami, jika kau sumbat telingamu
bagaimana kau lihat kami, jika tlah kau butakan matamu
bagaimana kau lisankan keinginan kami, jika tlah kau bungkam suara hatimu

Maaf, kakimu lumpuh sebelum kau melangkah
seolah karena alam, padahal kau sendiri yang mengubah
selesai, bantingan kata. Lantunan tanpa makna
terbangkan kesabaran, kau seperti setan

Mengelus dada, oh rajinnya...
menghadapimu, tiada rasa
acuh mata, tetap merona
biar angin berkata apa
ini pilihan kami, lepaskan saja

Sahabat Buku

kau tlah genggam aku

mengapa tak kau goreskan?

biar saja dia tak lagi jadi putih

kau sia-siakan aku

mengulum sisiku yang satu

seakan berpikir sesuatu

tapi,

waktu sudah berlalu

bertalu-talu meninggalkan semu

kau tak jua goreskan aku

kau ketuk-ketuk aku

beradu dalam bisu

sisiku yang satu beradu

siap muntahkan isi perutku

namun,

lagi-lagi kau buang waktu

sebenarnya apa mau mu

hanya sekedar menggenggamku?

ku tahu pikiranmu penuh

entah itu keluh atau sekedar rasa jenuh

yang ingin kau bunuh

bak baling-baling kau putar aku

muak rasa tiada guna

tak jua kau goreskan aku

sudahlah letakkan saja

mungkin saat ini waktumu bukan untukku

kau hanya diam dalam bisu

tinggalkan kerut kaku pada keningmu

dengan jari tak lagi menari

ikuti lirik pikiran tak untuk diuntaikan kini

dulu, itu aku

Pernah akan terjadi suatu tragedi,

yang jika itu terjadi aku tak lagi di sini.

satu pilihan terbaik, kupikir dulu

Kepenatan meracuni pikiranku.

aku,

yang sedang bimbang,

terus berangan untuk berlari tak bertepian

banyak pilihan, dan kucoba laksanakan

tapi, Dia tak izinkan

hadir lah aku di sini

sebagai aku, dengan sosok baru

(dengung mereka, kini dan saat itu)

aku, yakin. aku tetap aku.

perhitunganku, baru seumur jagung

tak banyak pilihan, lebih senang bermain dengan angan

menerbangkan layang-layang, dan ku titipkan harapan

celoteh soreku bersama sang waktu

dan hanya sang layang-layang menjadi saksi bisu

harapan baru, lahir suatu waktu

berpegang keyakinan, ku coba jalankan

lebih dari sekedar harapan dan angan

tak ada lagi layang-layang

celotehku kini,

menyeruak antara lembar-lembar kusam

atau kubisukan, antara diam dan pengharapan

akan ada saatnya aku tinggalkan semua,

tentu,

bukan dengan cara ketidakwarasanku

dulu, itu aku

BERDIRI

Berdiriku mulai tak seimbang,

akan kah aku terkulai jatuh tanpa sempat berpegangan?

Kuharap tidak,

karena aku masih miliki hutang untuk tunaikan amanah yang akan datang.

Kembali seperti anak bayi, aku kini sedang belajar berdiri.

Keluhku lebih banyak, dibandingkan saat bayi.

Tangisku lebih deras, dibandingkan saat ku terjatuh dulu.

aku sendiri jadi malu, baik pada usiaku dan pada semua hal itu

terlalu sering ketidakwarasanku mengajak bermain seperti dulu

tapi, aku tak mau. karena aku tahu itu bukan penyelesaian untuk semua

itu hanya kebodohan yang teramat bodoh

sebagai manusia yang memiliki akal,

rasanya aku bukan manusia yang pandai memanfaatkan apa yang telah tuhan ciptakan

hatiku lebih bisu dari mulutku

wajah bingung seakan menjadi ciri khasku

ya, lelah yang tergores

penat yang mengiringi

lebih sering menjadi teman setia

propaganda kekhawatiran tak jua dapat terelakkan

bermandi puing kecemasan

dalam hidup terkungkung penyesalan

bagaimana keadaan setelahnya

aku,

harus belajar berdiri lagi

tanpa pegangan, dan tanpa penyangga

aku harus belajar berdiri lagi

kali ini, benar-benar diatas kaki sendiri

tanpa alas kaki

tanpa batu pijakkan berdiri

aku harus belajar berdiri lagi

tak peduli berapa waktu yang ku makan nanti

setidakknya,

ini ikhtiarku untuk hidupku

aku harus BERDIRIi, dalam sepi

hingga suatu saat nanti

denyut nadi, tak lagi menemani.